“TUHAN, SELAMATKANLAH AKU!”

Leave a comment

Tetaplah tinggal di kapal kehidupan yang dianugerahkan Allah kepadamu dan biarkan badai datang menghampirimu. Engkau tidak akan celaka. Kau mungkin melihat Yesus tampak sedang tertidur, biarkan demikian adanya. Tidakkah engkau tahu walaupun Ia tertidur, hatiNya tetap waspada menjagaimu? Biarkan Ia tidur karena pada saat yang tepat Ia akan bangun untuk menenangkan hatimu.

Kitab Suci mengatakan pada kita ketika Santo Petrus ketakutan dan gemetar karena badai di laut, ia berteriak, “Tuhan, selamatkan aku!” dan Tuhan kita, sambil meraih tangannya menjawab, “O…..manusia kurang beriman, mengapa engkau ragu-ragu?”

Anakku terkasih, pelajarilah perilaku sang rasul kudus ini, ia berjalan dengan kaki kering di atas air, badai dan angin tidak menenggelamkannya. Tetapi, ketakutan akan badai dan angin membuatnya kecil hati dan putus asa. Ketakutan lebih jahat daripada kejahatan itu sendiri.

O….. anakku yang kurang beriman, apa yang engkau khawatirkan? Bukankah Ia sedang menjagaimu? Engkau sedang berjalan di tengah lautan kehidupan, badai dan angin menghadangmu di sana. Tidak cukupkah kehadiran Yesus bersamamu di sana? Apalagi yang engkau khawatirkan? Namun jika engkau tiba-tiba merasa gentar berserulah kuat-kuat, “Tuhan, selamatkanlah aku!” Ia pasti akan merentangkan tanganNya kepadamu. Berpeganglah erat-erat padanya dan dengan gembira berjalanlah di lautan kehidupan yang penuh badai. (Padre Pio, In My Own Words, Kanisius, 2006, hal. 79)

PAKAILAH AKU SEPERTI YANG ENGKAU MAU

Leave a comment

Seorang tukang air mempunyai dua buah tempayan besar yang bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang  pada bahunya. Salah satu  dari kedua tempayan itu retak sedang yang lain tidak. Tempayan yang tidak retak  selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya namun tempayan retak hanya dapat membawa air separuh saja.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja, si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna. Namun, si tempayan retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat ia diberikan.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan  retak itu berkata pada si tukang air: “Saya sungguh malu pada diri saya sendiri dan mohon maaf kepadamu.”

“Kenapa?” Tanya situkang air. “Kenapa kamu merasa malu?”

“Selama dua tahun ini, karena ada retakan pada salah satu sisi, saya hanya mampu membawa setengah porsi dari air yang seharusnya dapat saya bawa. Retakan itu telah membuat air yang saya bawa bocor di sepanjang jalan menuju ke rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi,” kata tempayan itu.

Tukang air itu merasa kasihan pada tempayan retak dan dalam belas kasihannya ia berkata, “Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.”
Keesokan harinya, ketika mereka naik ke bukit, tempayan retak memperhatikan dan baru menyadari ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan. Itu membuatnya sedikit terhibur. More